Oleh: Syamsul Yakin Pengasuh Pondok Pesantren Darul Akhyar Parung Bingung
Puasa dalam bahasa Arab dinamakan shiyam dan shaum. Secara etimologi, menurut Syaikh Muhammad bin Qasim al-Ghazi dalam Fath al-Qarib, puasa (shiyam dan shaum) artinya menahan diri dari sesuatu. Karena itu, tulis Wahbah al-Zuhaili dalam al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, ungkapan “Shama ‘an al-Kalam” artinya menahan dari berbicara.
Secara terminologi, sebagaimana diungkap Ahmad Mushthafa al-Maraghi dalam kitab tafsirnya, puasa adalah menahan makan, minum, dan bersetubuh sejak fajar hingga terbenamnya matahari karena mengharap pahala dari Allah SWT. Dengan demikian, seperti kata Syaikh Nawawi Banten dalam Maraqi al-Ubudiyah, puasa adalah tali kekang orang-orang bertakwa.
Tentang perintah berpuasa, Allah SWT berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah/2: 183). Ayat ini mengundang rasa ingin tahu yang membacanya, sejak kapan sebenarnya Allah SWT memerintahkan puasa kepada umat Islam?
Menurut Syaikh Nawawi Banten dalam al-Tsimar al-Yani’ah fi al-Riyadh al-Badi’ah puasa pada bulan Ramadhan dilaksanakan oleh Nabi SAW pada tahun kedua hijrah. Namun Nabi SAW sendiri hanya menjalankan sembilan kali berpuasa. Hal ini terjadi, seperti diketahui dalam sejarah, karena Nabi SAW hanya hidup selama 10 tahun di Madinah.
Dalam perhitungan kalender hijriah, jumlah hari dalam sebulan lebih banyak yang berjumlah 29 hari. Pada masa Nabi SAW, dalam masa sembilan kali berpuasa dan hidup di Madinah, beliau hanya mengalami sekali saja berpuasa Ramadhan dengan jumlah hari 30. Sebanyak delapan kali bilangan hari Ramadhan yang dialami Nabi SAW saat itu berjumlah 29.
Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir Munir menjelaskan pada awalnya waktu berbuka puasa berbeda dengan yang dikenal saat ini. Setelah berbuka pada waktu Maghrib, umat Islam pada waktu itu boleh makan, minum, dan bersetubuh sampai mereka melaksanakan shalat Isya dan tidur, namun tidak diperbolehkan lagi sesudah itu.
Satu ketika, tulis Wahbah al-Zuhaili berdasar hadits riwayat Ahmad, Abu Daud, dan Hakim, seorang laki-laki dari kalangan kaum Anshar yang bernama Qais bin Shirmah menunaikan shalat Isya kemudian tidur, padahal dia belum makan apapun pada saat berbuka puasa. Besok harinya ia berpuasa dalam keadaan yang sangat payah.
Berdasar riwayat di atas juga, Jalaluddin al-Suyuthi menulis dalam kitabnya, yakni Lubab al-Nuqul fi Asbab al-Nuzul, bahwa satu malam Umar bin Khattab sempat menggauli isterinya setelah ia tertidur. Besok paginya Umar bin Khattab bergegas menemui Nabi SAW, lalu turunlah ayat, “Dihalalkan bagi kamu …”(QS. al-Baqarah/2: 187).
Menurut Sayyid Quthb dalam Tafsir Fi Dzilal al-Qur’an, tampaknya puasa dengan cara pada masa awal ini membuat berat para sahabat. Kemudian Allah SWT mengembalikannya kepada cara yang lebih mudah. Dari sini terlihat jelas betapa besarnya rahmat Allah SWT kepada para hambanya yang taat.
Alhamdulillah hari ini kita mulai berpuasa di tengah mewabahnya virus korona yang melanda. Kita berharap kondisi kita saat ini dikembalikan oleh Allah SWT kepada keadaan yang aman, sehat, dan tidak ada lagi wabah penyakit apapun. Harapan kita kepada Allah SWT adalah: Ramadhan datang virus korona hilang. Amin!
Komentar